Minggu, 24 Februari 2008

Buku Saku


Salah satu karya DR H Tenas Effendy yang dicari cari oleh kalangan pecinta Syair Melayu khususnya kalangan mahasiswa sastra dan pelajar adalah " SYAIR NASIP MELAYU". Buku saku ini mengisahkan perjalalan Nasep Melayu pada saat gelap, saat cemerlang serta saat kemerosotan saat ini dan ia menceritakan dengan jujur apa apa yang dialami oleh Suku Melayu. Buku ini juga memaparkan kondisi Melayu yang pemalas, tenggang rasa, pemalu, kebiasaan kehidupan sehari hari serta nasehat dan petuah petuah kuno untuk pembangkit semangat. Ianya juga dijadikan reverensi kalangan peminpim / pejabat untuk bahan berpidato yang penuh sendiran serta nasehat yang bernas, pokoknya dengan membaca syair ini berarti kita dapat membaca perjalanan kehidupan orang melayu tempo dulu hing terkini...

Tokoh Melayu

DR. H. TeH. Tenas Effendy, Doktor (HC)
1. Riwayat Hidup
Tengku Nasaruddin Said Effendy atau yang lebih dikenal dengan Tenas Effendy, dilahirkan pada 9 November 1936 di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan. Tengku Nasaruddin Said Effendy adalah nama pemberian dari ayahnya, Tengku Said Umar Muhammad. Sementara ibunya, Tengku Sarifah Azamah juga memberi Tenas dengan nama Tengku Nasrun Said Effendy. Ayahnya adalah sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, Sultan Pelalawan ke-8 waktu itu. Ayahnya selalu menulis mengenai semua silsilah Kerajaan Pelalawan, adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya dalam sebuah buku yang dinamakan Buku Gajah. Setelah Sultan Said Hasyim mangkat pada tahun 1930, T. Said Umar Muhammad dan keluarga pindah dari Pelalawan ke Kuala Panduk dan menjalani aktivitas seperti masyarakat lainnya. Di Kuala Panduk T. Said Umar Muhammad diangkat sebagai Penghulu sekaligus sebagai guru agama yang pertama dan guru sekolah desa.
Masa kecil T. Nasaruddin Effendy dihabiskan dengan mengikuti ayahnya berladang padi, hingga T. Nasaruddin Effendy sejak kecil paham betul kegiatan berladang yang dilakukan ayahnya dan masyarakat desanya sehari-hari. Selain itu, beragam peristiwa dan aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya dapat disaksikan langsung oleh Tenas, seperti upacara penabalan Sultan Said Harun, upacara menuba ikan yaitu sebuah ritual yang juga sarat dengan adat, upacara mengambil madu yang sarat dengan magis dan kental dengan ritual kebudayaan asli, dan berbagai aktivitas budaya lainnya. Kebiasaan dalam mendengar, melihat dan mengamati berbagai khasanah budaya ini secara berangsur-angsur membuat Tenas mampu menyerap berbagai unsur budaya tersebut dan terpatri sangat mendalam dalam kehidupannya. Kendati belum memahami benar, namun kebiasaan masyarakat dengan beragam aktivitas kebudayaannya itu telah membentuk pandangan Tenas mengenai kebudayaan Melayu yang Islami.
Setelah berumur 6 tahun, Tenas mulai masuk Sekolah Agama dan Sekolah Rakyat yang ada di kampungnya. Di Sekolah Agama Tenas mendapat pendidikan dari ayahnya sebagai guru agama, sedangkan di Sekolah Rakyat Tenas mendapat pelajaran dari gurunya (Alm) T. Said Hamzah. Jika sekolah agama dilakukannya di masjid bersama teman-temannya, sekolah umum dilakukannya di sekolah yang sangat sederhana, dengan duduk beralaskan tikar. Alat tulis yang digunakan pun hanya dari batu yang disebut dengan papan batu. Kegiatan belajar tidak hanya dilakukan di sekolah maupun di masjid, tetapi di ladang, di pokok-pokok getah dan di tepi sungai.
Pada zaman pendudukan Jepang, tentara Jepang yang berada di Pelalawan selalu datang ke kampung-kampung, tak terkecuali Kuala Panduk untuk mencabut padi-padi yang ditanam masyarakat. Kondisi ini jelas menyebabkan hasil pertanian menurun drastis, persediaan pangan yang biasanya disimpan di pondok-pondok ladang dirampas oleh tentara Jepang dan kaki tangannya. Untuk mengatasi penderitaan masyarakat karena perlakuan tentara Jepang dan kaki tangannya, pihak istana mengeluarkan seruan untuk menyimpan padi-padi ke tengah hutan, agar tidak dirampas oleh Jepang. Sebagai penghulu waktu itu, T. Said Umar Muhammad tidak henti-hentinya menghimbau warga kampung untuk melaksanakan seruan istana, yaitu tidak menyerahkan hasil pertaniannya kepada Jepang. Karena aktivitasnya ini, sering kali Tengku Said Umar Muhammad harus mendapat ancaman pihak Jepang, dan beberapa kali akan ditangkap, namun nasib baik masih berpihak kepadanya. Pada akhir revolusi kemerdekaan pada tahun 1949, keluarga Tenas pindah ke Pelalawan.
Tahun 1950, Tenas menamatkan sekolah di Sekolah Rakyat di Pelalawan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru B (SG B) di Bengkalis. Tidak banyak kegiatan yang dilakukannya selama menuntut ilmu di Bengkalis. Hanya sekali-sekali Tenas mencoba menulis kemudian dikirim ke berbagai akbar yang ada di Medan. Selain itu Tenas giat mengikuti latihan pandu Hisbulwathan yang dipimpin oleh Dt. Adham. Setelah 3 tahun menempuh pendidikan di Bengkalis, Tenas melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Guru A di Padang.
Selama mengikuti pendidikan di Padang, banyak sekali kegiatan yang dilakukan oleh Tenas. Dasar menulis yang diperolehnya selama pendidikan di Bengkalis diteruskannya selama di Padang. Dengan kemampuan yang dimilikinya Tenas sering mengikuti berbagai acara kesenian berupa pembacaan puisi dan sering mengisi acara karya budaya yang disiarkan oleh RRI Padang. Aktivitas organisasi pun tak luput dari perhatiannya di samping terus menulis dan berkesenian. Sebuah organisasi bernama SEMI (Seniman Muda Indonesia) adalah organisasi pertama yang dimasukinya, dan ia diberi kepercayaan sebagai salah seorang Ketua Cabang Padang bersama SB. Jass, di organisasi yang berpusat di Bukit Tinggi ini. Bersama teman-temannya di antaranya Salius (salah seorang Pendiri Harian Singgalang) memprakarsai berdirinya Himpunan Seniman Muda Padang. Melalui organisasi ini berbagai aktivitas dilakukan mulai dari pementasan drama, teater, seni suara, musik, puisi dan menulis yang tidak pernah ditinggalkannya. Pementasan drama yang berjudul “Titik-titik Hitam” karya Nasyah Jamin adalah salah satu kegiatan yang masih dapat diingat olehnya, di samping drama lain buah karyanya sediri. Setelah 3 tahun di Padang, Tenas menyelesaikan pendidikannya yaitu tahun 1957.
Tahun 1958 Tenas pindah ke Riau (Pekanbaru), aktivitas menulisnya terus dilakukan, begitu juga kegiatan berkesenian. Bersama Muslim Saleh, Tenas mengadakan pameran lukisan di Rumbai tahun 1959. Ini merupakan kegiatan pameran pertama yang dilaksanakan di Riau waktu itu. Tahun 1960 Tenas sempat mengajar di salah satu sekolah di Siak, namun panggilan dan jiwa seni mengantarkannya kembali ke Pekanbaru untuk terus melakukan berbagai aktivitas berkesenian dan terus aktif menulis karya-karya sastra. Selain aktivitas seni, penerbitan buku-buku tentang kebudayaan Riau juga mulai dilakukan antara tahun 1968-1970. Tenas sendiri menulis buku “Lancang Kuning, Kubu Terakhir” (novel). Sedangkan Umar Ahmad Tambusai menulis “Tuanku Tambusai, Pancang Jermal”, juga Wan Saleh Tamin menulis buku “Lintasan Sejarah Rokan”.

Pada tahun 1968, Tenas memulai aktivitas penelitiannya dengan berbagai macam objek penelitian. Objek pertama yang diteliti adalah masyarakat suku asli (Petalangan). Selain itu, Tenas juga mulai melakukan berbagai kajian tentang beragam kebudayaan lain. Ia menghabiskan waktunya dalam melakukan kajian di hampir seluruh pelosok Riau dan Kepulauan Riau, masuk kampung yang satu ke kampung yang lain. Bertemu dengan banyak masyarakat asli dan tempat-tempat bersejarah yang sudah punah. Tenas menghimpun pantun, ungkapan, peribahasa, perumpamaan, gurindam, bidal, ibarat, nyayian panjang sampai kepada seni bina arsitektur bangunan-bangunan tradisional.

Penyingkatan nama dari Tengku Nasaruddin Effendy menjadi Tenas Effendy pada tahun 1957, membawa manfaat baginya dalam perjalanannya melakukan penelitian ke daerah-daerah pada berbagai kalangan masyarakat tradisional. Hal ini disebabkan jika masyarakat mengetahui bahwa peneliti itu adalah seorang Tengku, maka akan ada semacam jarak (gap). Hasil-hasil penelitian ini terutama yang berkenaan dengan sastra lisan direkamnya dalam bentuk kaset yang terkumpul lebih kurang 1.500 rekaman. Dari perjalanan panjangnya berkecimpung dengan kajian kebudayaan dan aktivitasnya dalam menulis, Tenas berhasil mengumpulkan lebih kurang 20.000 ungkapan, 10.000 pantun dan tulisan-tulisan lain mengenai kebudayaan Melayu. Kepiawaiannya dalam menulis dan pengetahuannya yang mendalam tentang kebudayaan menarik minat banyak institusi untuk berbagi pemikiran dalam berbagai seminar, simposium, dan lokakarya, mulai dari Malaysia, Singapura, Brunei sampai ke Belanda.

Pada tanggal 7 Februari 1970, Tenas menikah dengan Tengku Zahara binti Tengku Long Mahmud. Dari perkawinannya tersebut telah dikarunia 3 orang putra dan 4 orang putri yaitu T. Hidayati Effiza, T. Fitra Effendy. T. Ekarina, T. Nuraini, T. Taufik Effendy, T. Ahmad Ilham, dan T. Indra Effendy. Kendati telah menikah dan mempunyai anak, aktivitas berkesenian Tenas tidaklah surut di samping bekerja sebagai redaktur di mingguan "Canang" dan "Sinar Masa". Beruntunglah Tenas karena memiliki istri yang paham akan aktivitasnya dan selalu memberi dukungan moril dan semangat kepadanya. Pengertian ini Tenas rasakan sejak aktifnya ia melakukan kajian yang mengharuskannya pergi sampai berbulan-bulan ke beberapa pelosok kampung, hingga sampai sekarang. Istri dan keluarganya selalu memberi dukungan dan semangat. Kepada anak-anaknya Tenas selalu mengatakan jika suatu saat ajal menjemputnya, maka bukan harta yang ditinggalkannya tetapi kekayaan berupa buku-buku dan bahan-bahan tentang adat istiadat dan kebudayaan Melayu Riau. Ia berharap mereka dapat membaca, memahami, melihat dan menyimak berbagai khasanah kebudayan Melayu itu dan mengamalkannya dalam kehidupannya.
Dari dulu hingga sekarang Tenas masih aktif dalam berbagai organisasi. Keaktifannya dalam mengikuti berbagai organisasi menyebabkan ia mendapat kepercayaan dan posisi penting dalam organisasi tersebut. Adapun posisi atau jabatan penting yang pernah dipegangnya, antara lain:
Ketua Umum Lembaga Adat Melayu Riau (2000 – 2005)
Ketua Dewan Pembina Lembaga Adat Pelalawan (2000 – Sekarang)
Pembina Lembaga Adat Petalangan (1982 – Sekarang)
Pengurus Dewan Kesenian Riau.
Pengurus Pondok Seni Rupa Riau (1960 – 1968).
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Riau (1974 – Sekarang).
Pengurus Badan Pembina Kesenian Daerah Riau (1968 – 1978).
Pengurus Lembaga Karya Budaya Riau (1960 – 1965).
Penasehat Paguyuban Masyarakat Riau (2001 – Sekarang).
Memimpin Yayasan Setanggi Riau (1986 – Sekarang).
Memimpin Yayasan Serindit (2001 – Sekarang).
Pembina/Penasehat berbagai organisasi sosial, kemasyarakat dan budaya Di Propinsi Riau.
2. Pengaruh / Pemikiran
Sumbangan pemikiran Tenas Effendy di dunia kemelayuan banyak memberikan sumbangan positif bagi orang-orang Melayu. Pemikiran-pemikiran Tenas Effendy mengenai Melayu yaitu di antaranya:
1.
Bahwa untuk menghadapi masa depan, yang penuh cabaran dan tantangan diperlukan budaya yang tangguh untuk melandasi sikap dan perilaku masyarakat pendukungnya agar menjadi manusia tangguh. Oleh karena itu, budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai luhur yang Islami yang sudah teruji kehandalannya, harus dikekalkan dengan menjadikannya sebagai “jatidiri” bagi masyarakatnya. Nilai-nilai budaya ini diyakini mampu mengangkat marwah, harkat dan martabat kemelayuan dalam arti luas. Di dalam resam Melayu, nilai-nilai yang dimaksud dipaterikan ke dalam ungkapan-ungkapan adat, yang disebut sebagai “Sifat yang Duapuluh Lima”, atau “pakaian yang Duapuluh Lima”. Jika sifat atau pakaian itu dijadikan sebagai “jatidiri” , tentu akan menjadi “orang” yang “sempurna” lahiriah dan batiniah.
2.
Bahwa untuk menjaga nilai kegotoroyongan, nilai tenggang rasa, dan nilai keberasamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka yang perlu dilakukakan adalah menjaga nilai-nilai asas persebatian Melayu (Perekat Kehidupan Bermasyaraka, Berbangsa dan Bernegara). Hal ini selaras dengan ungkapan adat Melaya yang mengatakan: “Hidup sebanjar ajar mengajar, hidup sedusun tuntun menuntun, hidup sekampung tolong-menolong, hidup senegeri beri memberi, hidup sebangsa rasa merasa”

Pengaruh pemikiran Tenas Effendy tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga meliputi wilayah Asia Tenggara, khususnya negara-negara tetangga yang dihuni oleh sebagian orang-orang Melayu, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Thailand.3. Karya Tulis
Karya-karya Tenas Effendy yang ditulis dalam buku-buku yang diterbitkan di dalam dan di luar negeri, sekitar 200 judul
1. 4. Penghargaan
Ada beberapa Penghargaan yang telah diterima oleh Tenas Effendy sebagai Budayawan, yaitu antara lain:
1.
Memperoleh Gelar adat Sri Budaya Junjungan Negeri oleh Sri Mahkota Setia Negeri Bengkalis (Bupati Bengkalis, H. Syamsurizal), di Balai Adat Melayu Bengkalis.
2.
Pada tahun 1997, mendapat penghargaan dari Yayasan Sagang melalui “Anugrah Sagang 1997” dalam kategori Budayawan Terbaik.
3.
Pada 17 September 2005, memperoleh Penghargaan gelar akademis tertinggi sebagai Doktor Honoris Causa bidang persuratan atau Kesusasteraan dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Alamat sekarang:Jalan Raya Pasir Putih, Desa Tanah Merah, Siak Hulu, Pekanbaru, 28131, Riau.Telp. +62 761 71061
Sumber:
“Tegak Menjaga Tuah, Duduk Memelihara Merwah”: Mengenal Sosok, Pikiran dan Pengabdian H. Tenas Effendy. Makmur Hendrik, Mahyudin Al Mudra, Deni Ermanto Iddehan (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2005).


Pemerintah Malaysia dan Perguruan tinggi disana sangat pandai memanfaatkan kepakaran beliau untuk menjadi narasumber untuk menggali Budaya Melayu yang sudah Langka ini.
Sekarang menjadi tenaga pengajar Staf Ahli / pakar Budaya Melayu di Univesity Malaya di Kuala Lumpur

Sumber :
KAMARUDDIN SABAN
KETUA PERWAKILAN YAYASAN TENAS EFFENDY KEPRI
Nagoya Busines Centre Blok 5 no 39
Telp. 456777, 456567 ( HP. 081270123344 )